Hamas Belum Tumbang, Israel Terjebak Perang Gaza Tanpa Ujung

Hamas masih bertahan di Gaza. Israel hadapi dilema politik, tekanan AS, dan perang bawah tanah tanpa akhir dalam konflik yang makin rumit.

Hamas Belum Tumbang, Israel Terjebak Perang Gaza Tanpa Ujung
Menyisir puing-puing oleh pasukan dari Divisi ke-162 IDF di Jalur Gaza utara (Sumber: Aljazeera.net)

TOPIKPUBLIK.COM - TIMUR TENGAH – Di tengah tekanan diplomatik yang terus dilancarkan oleh Amerika Serikat agar Israel menyetujui gencatan senjata menyeluruh dan pertukaran tahanan dengan Hamas, suara pesimis justru muncul dari dalam negeri Israel sendiri.

Sejumlah analis militer dan pengamat strategis menyampaikan bahwa Hamas masih bertahan dan belum kehilangan kendali atas Jalur Gaza, meskipun hampir dua tahun telah dilalui dengan operasi militer Israel yang intensif.

Netanyahu Kunjungi AS, Perang Gaza Dinilai Kehilangan Arah

Kunjungan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ke Amerika Serikat untuk bertemu Presiden Donald Trump memperkuat kesan bahwa perang ini telah berubah menjadi konflik berkepanjangan tanpa peta jalan yang jelas.

Washington, yang kini lebih vokal mendorong penyelesaian damai, mendesak Israel menerima kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tawanan sebagai jalan keluar dari krisis kemanusiaan Gaza. Namun, Netanyahu—yang kini juga menghadapi tuntutan Mahkamah Pidana Internasional atas dugaan kejahatan perang di Gaza—masih menolak untuk mengalah.

Bagi sebagian besar publik Israel, menerima tawaran semacam itu berarti mengakui bahwa Hamas belum dikalahkan, bahkan tetap punya daya tawar politik dan militer.

Target Menghancurkan Hamas Gagal Tercapai?

Sejumlah media dan lembaga keamanan Israel menyimpulkan bahwa tujuan utama perang Gaza, yakni menghancurkan kekuasaan Hamas, masih jauh dari kata tercapai.

Bocoran laporan militer mengungkap bahwa menghentikan sepenuhnya pemerintahan Hamas diprediksi membutuhkan waktu bertahun-tahun dan perang darat yang brutal dari rumah ke rumah, terutama karena kompleksitas jaringan terowongan Hamas dan kemampuan kelompok tersebut untuk menyusun ulang strategi secara cepat.

Tekanan Internasional vs Realitas Militer di Lapangan

Di satu sisi, Amerika Serikat mendorong terjadinya gencatan senjata Israel Hamas guna membuka ruang bagi evakuasi warga sipil dan pembebasan tawanan. Di sisi lain, para pembuat keputusan di Tel Aviv menghadapi dilema pelik: menyerah pada tekanan dunia internasional atau melanjutkan operasi militer yang belum menunjukkan hasil signifikan.

Militer Israel sendiri mengakui bahwa penghancuran infrastruktur bawah tanah Hamas belum mencapai hasil maksimal. Kekhawatiran muncul bahwa jika pasukan ditarik, Hamas akan bangkit kembali dalam waktu singkat.

Namun jika operasi diperpanjang, para tawanan Israel di Gaza akan semakin terancam dan korban sipil pun akan terus berjatuhan, menambah tekanan moral dan politik dalam negeri.

Analis Haaretz: Israel Tersandera oleh Politiknya Sendiri

Amos Harel, analis senior Haaretz, menyebut bahwa perang Gaza telah masuk fase baru yang jauh lebih rumit, ditandai oleh ketidakseimbangan antara tuntutan dunia internasional dan kebuntuan internal Israel.

Menurut Harel, meskipun AS masih memberikan dukungan militer, tekanan untuk melakukan konsesi terhadap Hamas terus meningkat. Hal ini memberi ruang bagi Netanyahu untuk menunda pengambilan keputusan penting sambil tetap menjaga dukungan koalisi politiknya.

Di dalam negeri, tekanan publik meningkat untuk memulangkan para tawanan Israel, namun Netanyahu juga menghadapi dilema geopolitik—khususnya terkait pengamanan koridor Morag dan wilayah strategis Rafah—yang dianggap vital untuk mencegah penguatan kembali Hamas.

Menurut Harel, keputusan untuk tetap menempatkan militer di Rafah bukan hanya keputusan taktis, tetapi merupakan bagian dari strategi jangka panjang Israel dalam menciptakan zona penyangga dan memutus jalur logistik Hamas. Namun, kebijakan ini dinilai oleh sebagian kalangan internasional sebagai bentuk pemindahan paksa berkedok keamanan.

Militer Israel Terkuras, Terowongan Hamas Jadi Momok

Dari perspektif militer, perang di Gaza telah memakan korban besar: tak hanya nyawa, tetapi juga kapasitas tempur dan kondisi psikologis pasukan Israel. Beberapa komandan secara terbuka mengakui bahwa kekuatan tempur Israel menurun drastis, dan bahwa kemenangan total atas Hamas hanya mungkin terjadi lewat perang panjang yang menyakitkan.

Laporan mendalam dari harian Yedioth Ahronoth, yang menurunkan tim wartawan ke garis depan Jalur Gaza, menggambarkan betapa rumitnya realitas medan tempur. Di permukaan, satuan tempur bisa berpindah dalam hitungan menit. Namun, di bawah tanah terdapat labirin terowongan Hamas yang menyulitkan setiap langkah pasukan Israel.

Letkol “A”, komandan Batalion Granit 932, menyatakan bahwa waktu menjadi musuh utama. “Di bawah tanah, kami menghadapi kota lain yang butuh strategi, alat khusus, dan waktu. Dan waktu tidak berpihak pada kami,” ujarnya.

Keterbatasan alat berat, bahan peledak, dan suplai logistik memperlambat operasi penghancuran. Sementara itu, Hamas terus memperkuat strategi perlawanan bawah tanah, menjadikan operasi kontra-terowongan seperti pertempuran tanpa akhir—seperti disebut beberapa kalangan, “perang Sisyphean”.

Ancaman Terus Hidup: Gencatan Senjata Tak Menjamin Keamanan

Yossi Yehoshua, analis militer Yedioth Ahronoth, menyebut bahwa meskipun gencatan senjata bisa membuka jalan diplomatik, ancaman terowongan Hamas tetap nyata. Hamas dinilai mampu mengaktifkan kembali jaringan lama atau menggali yang baru. Bahkan, senjata-senjata Israel yang jatuh ke tangan mereka menjadi sumber kekhawatiran akan terjadinya serangan mendadak atau penyanderaan.

Yehoshua memperingatkan bahwa jika Israel mundur dari wilayah-wilayah strategis dalam kerangka kesepakatan gencatan senjata, maka bukan kedamaian yang akan tercipta, melainkan potensi kebangkitan militer Hamas yang lebih terorganisir.

Ia menegaskan bahwa mengeliminasi Hamas sepenuhnya adalah misi berat yang hanya bisa dicapai melalui perang jangka panjang, bukan dengan solusi cepat atau kompromi sepihak.

Gaza memiliki waktu di pihaknya. Dan itulah hal paling berbahaya dari semuanya,” tutup Yehoshua dalam analisis tajamnya.