Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Tidak Dapat Dipidananya Penghinaan terhadap Pejabat Negara – Penegasan Hak Konstitusional dan Kesetaraan di Hadapan Hukum

TOPIK PUBLIK

Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Tidak Dapat Dipidananya Penghinaan terhadap Pejabat Negara – Penegasan Hak Konstitusional dan Kesetaraan di Hadapan Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Tidak Dapat Dipidananya Penghinaan terhadap Pejabat Negara – Penegasan Hak Konstitusional dan Kesetaraan di Hadapan Hukum

TOPIKPUBLIK.COM - PEKANBARU - SENIN 05/05/2025.,Opini Hukum: 

Oleh: Dr. Zulfikri Toguan, S.H., M.H.MM, Advokat

I. Pendahuluan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XXI/2023 menjadi tonggak penting dalam penguatan negara hukum Indonesia dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 218, 219, dan 220 KUHP hanya konstitusional jika ditafsirkan sebagai delik aduan absolut, yang berarti hanya dapat diproses jika ada laporan langsung dari pejabat yang merasa dirugikan secara pribadi.

Putusan ini sejalan dengan prinsip negara hukum demokratis (democratische rechtsstaat) yang menurut Jimly Asshiddiqie (2006) menempatkan hak asasi manusia sebagai jiwa dari konstitusi modern (Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 2006).

II. Landasan Konstitusional

Mahkamah Konstitusi mendasarkan putusannya pada prinsip-prinsip UUD 1945, antara lain:

  • Pasal 28E ayat (3): Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pendapat, termasuk kritik terhadap penguasa.

  • Pasal 28J ayat (2): Hak-hak hanya dapat dibatasi untuk menjamin hak orang lain dan ketertiban umum, bukan demi perlindungan status jabatan.

  • Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.

Prinsip equality before the law ini dikuatkan oleh Satjipto Rahardjo, yang menegaskan bahwa hukum seharusnya tidak berpihak pada kekuasaan, tetapi pada keadilan substantif (Rahardjo, Ilmu Hukum, 2000).

III. Analisis Hukum

A. Delik Aduan Absolut

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pasal-pasal penghinaan terhadap pejabat negara hanya dapat ditegakkan apabila ada pengaduan langsung dari pejabat yang bersangkutan. Ini untuk mencegah kriminalisasi terhadap warga negara yang menyampaikan pendapatnya di ruang publik. Rasyid (2019) dalam Indonesia Law Review menulis bahwa dalam sistem demokrasi, delik penghinaan terhadap penguasa harus dianggap sebagai delik aduan untuk mencegah penyalahgunaan hukum pidana sebagai alat politik (Rasyid, "Kebebasan Ekspresi dan Penghinaan terhadap Pejabat Negara", ILREV, Vol. 9 No. 1, 2019).

B. Perlindungan terhadap Kritik Publik

Kritik terhadap pejabat negara seharusnya tidak dipidana, karena merupakan bagian dari kontrol publik dalam sistem demokrasi. Haris Azhar (2021) menyatakan bahwa pembungkaman suara publik atas nama martabat pejabat bertentangan dengan prinsip partisipasi publik dalam negara demokratis (Azhar, Hukum, Kekuasaan, dan Kebebasan Sipil, 2021). Bahkan, dalam General Comment No. 34 dari Komite HAM PBB atas Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), ditegaskan bahwa pejabat publik seharusnya lebih toleran terhadap kritik.

C. Tantangan: Kekhawatiran Pejabat dalam Mengambil Keputusan

Putusan ini dapat menimbulkan efek psikologis pada pejabat negara. Perlindungan kritik yang luas terhadap pejabat bisa menimbulkan keraguan dalam pengambilan keputusan. Pejabat negara mungkin enggan bertindak tegas karena takut kebijakan atau pernyataan mereka akan dipelintir atau dijadikan penghinaan di ruang publik. Maria Farida Indrati menyebutkan bahwa ketidakseimbangan antara perlindungan publik dan pejabat dapat menimbulkan chilling effect, yaitu ketakutan untuk bertindak akibat bayang-bayang kriminalisasi atau kecaman sosial yang tidak proporsional (Farida, Ilmu Perundang-undangan, 2007).

Namun demikian, ketegasan yang didasarkan pada hukum dan prinsip akuntabilitas tidak boleh disalahartikan sebagai tindakan otoriter. Pejabat negara yang bekerja transparan dan berpihak pada kepentingan publik tetap memiliki legitimasi moral dan hukum untuk bertindak. Perlindungan kebebasan berekspresi tidak berarti memberi ruang untuk fitnah atau ujaran kebencian.

IV. Implikasi terhadap Penegakan Hukum

Putusan MK ini membawa beberapa implikasi signifikan:

  1. Aparat penegak hukum tidak bisa memproses penghinaan terhadap pejabat tanpa pengaduan langsung, sesuai prinsip delik aduan absolut.

  2. Pejabat negara tidak memiliki hak istimewa dalam hukum pidana dan harus tunduk pada asas kesetaraan hukum.

  3. Masyarakat memiliki ruang aman secara hukum untuk mengkritik pemerintah, sepanjang kritik tersebut tidak mengandung fitnah atau ujaran kebencian (hate speech).

Pandangan ini juga diperkuat oleh Muladi, yang menyebutkan bahwa kebebasan berpendapat adalah unsur utama dari demokrasi konstitusional yang harus dilindungi secara sistematis (Muladi, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, 2005).


#Thab411